PERBEDAAN SANTRI DULU DAN SEKARANG

PENUNTUT ILMU ANTARA DAHULU DAN SEKARANG!


IMAM Ibn Qutaibah rahimahullah (wafat 276 hijrah) menyebutkan:

قا ل ابن قتیبة رحمه الله تعالى

1. PENUNTUT ILMU ZAMAN DULU

كان طالب العلم فيما مضى يسمع ليعلم، ويعلم ليعمل، ويتفقه في دين الله لينتفع وينفع،

•Sesungguhnya penuntut ilmu pada zaman dahulu, mendengar ilmu untuk mempelajarinya dan mereka mempelajarinya pula untuk mengamalkannya.
•Dan mereka bertafaqquh di dalam perkara agama Allah untuk tujuan mengambil manfaat bagi diri sendiri dan memberikan manfaat kepada orang lain.

2. PENUNTUT ILMU ZAMAN SEKARANG

فقد صار طالب العلم الآن يسمع ليجمع، ويجمع ليذكر، ويحفظ ليغالب ويفخر

•Adapun penuntut ilmu zaman sekarang mereka mendengar ilmu untuk mengumpulkan,
•Dan mengumpulkan ilmu pula untuk disebut oleh orang sebagai seseorang yang memiliki ilmu dan mereka menghafal ilmu untuk mengalahkan orang lain dan berbangga diri.

(الحافظ ابن قتيبة رحمه الله الاختلاف في اللفظ والرد على الجهمية ) (ص 18)

CARA GURU MENDIDIK SANTRINYA JUGA TIDAK SEPERTI DULU 

Habib Umar al-Muthohhar Dawuh:

"Kita ini beruntung, Guru-guru kita tidak memberikan kita ujian yang berat seperti ujian yangg diberikan ulama - ulama terdahulu, karena mereka tahu hati kita lemah, iman kita lemah tidak seperti santri-santri zaman dahulu."

Beliau lalu menceritakan kisah Habib Ali Bin Abdullah Assegaf ketika "jauh-jauh" datang dari Hadhramaut ke Malibar India untuk berguru kepada Habib Ali Bin Abdullah Alaydrus. 

Sesampainya ia di depan rumah gurunya dan mengucapkan salam, Sang guru yangg waktu itu sedang makan dilantai dua menyuruh Khodamnya melihat siapa yang ada didepan pintu.

"Seorang pencari ilmu dari Seiwun-Hadhramaut Habib, namanya Ali Assegaf " Jawab Khodamnya.

Mendengar itu Habib Ali Alaydrus mengambil air bekas cuci tangannya dan memberikannya kepada khodamnya.

"Ambil air ini. Dan siramkan kepadanya "

Dengan segera si khodam mengambil air kobokan itu dan menyiramkannya ke tubuh Habib Ali Assegaf dari lantai dua..

" Byuurrr... "

Setengah jam kemudian Habib Ali Alaydrus memanggil khodamnya lagi. "Coba lihat, Apakah orang itu masih ada dibawah." Khodamnya melihat ke bawah dan ternyata pemuda itu masih berdiri mematung di depan pintu. Malahan ia masih menunduk penuh ta'dzhim.

"Masih Ya Habib, Dia masih ada di bawah" jawab khodamnya. "Sekarang, Bukakan pintu untuknya" Ujar Habib Ali Alaydrus. 

Berkat ketulusan dan keteguhannya itu, kelak Habib Ali Assegaf menjadi salah satu murid kesayangan Habib Ali Alyadrus.

Sebagian ulama terdahulu memang mempunyai cara tersendiri dalam menguji keteguhan dan ketulusan santri-santrinya. Tentunya cara-cara "aneh" yang mereka tempuh dalam mendidik tak lepas dari maksud dan tujuan yang mulia, yang sering kali tak bisa kita ketahui dengan pemahaman dan cara berpikir kita.

Syaikhona KH. Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan merupakan salah satu dari ulama yg sering mendidik murid-muridnya dengan cara-cara unik itu.

Dulu ia mempunyai santri asal Magelang, Manab namanya. Selama liburan - karena termasuk dari golongan yang tak mampu dan tak pernah mendapat kiriman dari orang tuanya - ia bekerja di sawah sekitar pesantren untuk mengumpulkan beberapa ikat padi yg akan ia gunakan sebagai "sangu" selama mengaji kepada Syaikhona Kholil. 

Sesampainya di Demangan, kebetulan Syaikhona Kholil waktu itu sedang duduk di luar rumahnya, melihat santrinya datang membawa dua karung beras, beliau berkata :

"Kebetulan ayam-ayamku masih belum makan"

Manab lekas memahami keinginan Kiyainya, tanpa menunggu lama ia menaburkan beras dua karung itu di kandang ayam-ayam Syaikhona Kholil.

Hasil jerih payahnya berbulan-bulan ludes pada waktu itu juga. Sebagai ganti beras itu, Syaikhona Kholil menyuruhnya untuk mengumpulkan daun mengkudu sebagai makanan sehari-harinya. Santri bernama Manab itu kelak akan menjadi ulama besar di zamannya, mendirikan pesantren yg memiliki puluhan ribu santri hingga saat ini, ia yg kelak lebih dikenal dengan KH. Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Dawuh al-Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, "Orang Yang mencari ilmu itu, Ibarat orang yg membawa wadah untuk meminta madu. Jika ia membawa wadah yg kotor, apakah sang pemilik madu akan menuangkan madunya untuknya ? Tentunya ia akan menyuruhnya untuk membersihkan wadahnya terlebih dahulu"

Na'am, ilmu itu layaknya madu, sedangkan Hati kita adalah wadah untuk "menampaninya" (menerimanya). Semakin besar rasa ta'dzim dan keyakinan kita terhadap guru kita, semakin besar pula wadah yg kita miliki.

Dan tentunya "barokah" yg kita dapatkan akan lebih banyak dan melimpah. Seringkali para Ulama mengulang-ulangi ucapan ini :

"Al Madad 'Ala Qadril Masyhad"

Pemberian dan pertolongan Allah - yg akan kita peroleh lewat guru kita - itu tergantung rasa ta'dzhim, keyakinan dan cara pandang kita terhadapnya..

Semoga sampai kapanpun kita tetap bisa menjaga adab dan ta'zhim terhadap para guru kita, para ulama kita, selalu mendapat keridhoan mereka bukan malah menjadi orang yg tak tahu adab dan balas budi, bagaikan kacang yg melupakan kulitnya, karena sejatinya tidak ada istilah mantan guru.

👉  GURU KITA, SELAMANYA AKAN MENJADI GURU KITA  🔐